Friday, October 4, 2013

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Zulhijjah

Saudara seiman yang dirahmati Allah,

Besok, hari Minggu tanggal 6 Oktober in-syaAllah adalah pertama bulan Zulhijjah, salah satu bulan Haram yang memiliki banyak keutamaan. Firman Allah:

﴿وَالْفَجْرِ- وَلَيالٍ عَشْرٍ

Al Fajr 89:(1. Demi waktu fajar;) (2. Dan demi malam yang sepuluh,)

Ibnu Katsir dalam tasfirnya mengatakan bahwa ‘malam yang sepuluh’ dengan apa Allah bersumpah pada ayat kedua ini merujuk pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas RA, Ibnu Zubayr RA, Mujahid dan ulama-ulama Salaf generasi berikutnya. Dalam Sahih Bukhari, diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mendengar Rasulullah SAW berkata,

«مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ أَحَبُّ إِلَى اللهِ فِيهِنَّ مِنْ هذِهِ الْأَيَّام»

“Tidak ada hari-hari dimana amalan shalih lebih dicintai Allah dari pada amal shalih yang dilakukan pada hari-hari ini (sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah).”
Para sahabat RA bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allah, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,

«وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلًا خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذلِكَ بِشَيْء»

“Bahkan Jihad di jalan Allah; kecuali seorang laki-laki yang berjihad dengan harta dan jiwanya dan ia gugur dalam jihad itu kehilangan harta dan jiwanya.”

Demikianlah keutamaan sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah ini. Hendaklah kita jangan sampai lalai dan membiarkan hari-hari yang sangat berharga ini berlalu tanpa mengambil manfaat darinya. Ini adalah tanda kasih Allah kepada kita untuk kita mengumpulkan sebanyak-banyaknya pahala dengan usaha minimal.

Ibadah-ibadah yang disyariatkan untuk  dilakukan pada sepuluh hari pertama ini diantaranya adalah:

1. Melaksanakan ibadah Haji dan Umrah

وَللَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَـعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِىٌّ عَنِ الْعَـلَمِينَ ﴾

Al Imran 3: 97 (… dan melaksanakan ibadah Haji ke Baitullah adalah hutang umat manuasia kepada Allah bagi yang sanggup. Barangsiapa yang kufur (menolak), sesungguhnya Allah Maha Tidak Membutuhkan dari ciptaannya.)

Jadi Haji adalah hutang yang harus kita bayar kepada Allah sebelum ajal menemui kita, bagi yang sanggup. Tapi seberapa banyak orang yang suka menunda melaksanakan ibadah ini walaupun seudah diberi Allah kecukupan dan kesanggupan. Padahal tidak ada jaminan bahwa pada musim haji berikutnya kita masih hidup.

Rasulullah SAW memperingatkan kita, “Barangsiapa yang tidak terhalang melaksanakan ibadah haji oleh kebutuhan yang nyata, penguasa yang zalim atau penyakit yang tidak memungkinkan dia meninggalkan rumah dan dia mati dalam keadaan melalaikan ibadah haji, dia mempunyai pilihan mati sebagai Yahudi atau Nasrani.” (Tirmidhi: 2535, dari Abu Umamah)

Nabi juga bersabda, “ Dari Umrah ke Umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) diantara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah syurga.” [HR. Muslim/1349].

2. Berpuasa pada hari-hari tersebut, pada sebagiannya terutama pada hari Arafah
Pada hari kesembilan, hari Arafah, ketika jamaah haji berkumpul di padang Arafah,  Allah membanggakan para hamba-Nya yang sedang berkumpul itu di hadapan para malaikat-Nya. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلَائِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ

“Tidak ada satu hari yang lebih banyak Allah memerdekakan hamba dari neraka pada hari itu daripada hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah mendekat, kemudian Dia membanggakan mereka (para hamba-Nya yang sedang berkumpul di Arafah) kepada para malaikat. Dia berfirman, 'Apa yang dikehendaki oleh mereka ini?'” (HR. Muslim, no. 1348; dan lainnya dari 'Aisyah).

Bagi kita yang tidak melaksanakan ibadah Haji, disunatkan berpuasa pada hari ini. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Puasa satu hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Puasa hari 'Asyura' (tanggal 10 Muharram), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162, dari Abu Qatadah).

3. Berqurban pada hari Nahr dan hari-hari Tasyriq
Ini adalah Sunnah Nabi Ibrahim AS yakni ketika Allah ta’ala menebus putranya, Ismail AS, dengan sembelihan yang agung. Hukumnya bagi yang sanggup adalah wajib menurut Imam Abu Hanifah dan Sunnah Mu’akkadah menurut Imam mazhab lainnya.
Firman Allah,

﴿لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلاَ دِمَآؤُهَا وَلَـكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ﴾

Al Hajj 22: 37(It is neither their meat nor their blood that reaches Allah, but it is Taqwa from you that reaches Him.)

Pentingnya ibadah qurban ini bisa dilihat dari kegusaran Rasulullah SAW terhadap orang yang sanggup berqurban tapi mengabaikannya,

من كان له سِعَةٌ ولم يُضَحِّ فلا يَشهدْ مصلَّانا

“Barangsiapa memiliki kelapangan, namun ia tidak berqurban, maka janganlah datangi mushalla kami” (HR. Ahmad 1/312, Ibnu Majah 3123)

Dilarang mencabut atau memotong rambut dan kuku bagi orang yang hendak berqurban.

Diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya, dari Ummu Salamah bahwa Nabi bersabda :

“Jika kamu melihat Hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kamu ingin berqurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.”
Dalam riwayat lain: “Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berqurban.”

Larangan ini menurut dzahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berqurban saja, tidak termasuk isteri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berqurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambut yang rontok.

4. Takbir dan dzikir pada hari-hari tersebut.

Firman Allah :

وَيَذْكُرُواْ اسْمَ اللَّهِ فِى أَيَّامٍ مَّعْلُومَـتٍ

“ ...Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” QS.Al-Hajj: 28.

Para ahli Tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu para Ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut. Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar, artinya : “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu Tahlil, Takbir dan Tahmid” [HR.Ahmad].
Imam Bukhari menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan Takbir lalu orang-orang pun mengikuti Takbirnya.

Dari Ishaq meriwayatkan dari Fuqaha’ Tabi’in bahwa pada hari-hari ini mengucapkan:

الله أكبر , الله أكبر , لا إله إلا الله والله أكبر , الله أكبر ولله الحمد

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar tidak ada Ilah (sembahan) yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah.”

Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, mesjid dan lain-lainnya. Sebagaimana Firman Allah, artinya : “Dan hendaknya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu…” [QS.Al Baqarah : 185].

Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah, seperti Takbir, Tashbih dan do’a-do’a lainnya yang disyari’atkan.

5. Taubat dan Banyak beramal shalih.
Berupa ibadah Sunnah seperti ; Shalat, shadaqah, membaca Al qur’an, Amar ma’ruf nahi Munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipatgandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, bahkan sekalipun Jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihadnya orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.

6. Takbir muthlaq.
Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat I’ed. Dan disyari’atkan pula takbir Muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama’ah; bagi selain jama’ah haji dimulai dari sejak Dzuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat ‘Ashar pada akhir hari Tasyriq.

7. Melaksanakan Shalat I’edul Adha dan mendengarkan khutbah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat dua hari raya. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukumnya sunnah mu’akkadah, Imam Ahmad berpendapat hukumnya fardu kifayah, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain untuk laki-laki yang sudah baligh. Pendapat Imam Abu Hanifah ini dikukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.

1.Firman Allah Ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah." (QS. Al-Kautsar: 2)

Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat yang dimaksud dalam ayat ini adalah shalat Ied (Ied ul Fitr dan Ied ul Adha). Sebagian ulama berpendapat bahwa maksud ayat tadi adalah keumuman shalat. Bukan khusus shalat Id. Arti ayat adalah perintah untuk mengesakan Allah Ta’ala dengan shalat dan berkorban.

Keutamaan shalat Ied bisa digambarkan dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari (324) dan Muslim (890) dari Ummu Atiyyah radhiallahu anha, dia berkata,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

"Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Baik wanita yang baru balig, wanita sedang haid dan wanita perawan. Sementara orang yang haid dipisahkan dari (tempat) shalat. Agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa umat Islam." Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada di antara kami yang tidak mempunyai jilbab." Beliau mengatakan, "Sebaiknya saudara perempuannya memberinya jilbab."

Barakallahu li walakum bil aayaati wadzikril hakiim. Semoga bermanfaat.


Monday, December 10, 2012

Sebab-sebab Su'ul Khatimah

Setiap orang menginginkan akhir yang baik dari kehidupannya. Akhir yang baik atau ‘husnul khatimah’ tidak hanya pertanda baik dari untuk keluarga yang ditinggal, tetapi juga memberi kabar gembira kepada insan bersangkutan bahwa perjalanan selanjutnya di alam fana akan penuh kemudahan dan menuju tujuan yang penuh kenikmatan, yaitu jannatun na’im. Sebaliknya, akhir yang buruk, atau ‘su’ul khatimah’ merupakan pertanda buruk dan memberi isyarat bahwa perjalanannya mulai dari sakaratul maut, alam kubur dan seterusnya akan dilaluinya penuh dengan kesulitan dan penderitaan menuju tujuan yang sangat pedih yaitu naarun jahannam; na’udzubillahi mindzaalik.


Dalam satu hadits yang panjang Rasululah SAW bersabda:


فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ
 
 فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ
 
 حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا


… Maka demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, sesungguhnya ada diantara kamu yang melakukan amalan penduduk surga dan amalan itu mendekatkannya ke surga sehingga jarak antara dia dan surga kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga dia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada seseorang diantara kamu yang melakukan amalan penduduk neraka dan amal itu mendekatkannya ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapka atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim)


Hadith ini mudah sekali membawa orang kepada kesimpulan yang salah tentang konsep takdir. Kita kadang-kadang berpikir, kalau rezki, ajal, amal dan nasib sudah ditentukan Allah, untuk apa lagi kita berusaha? Untuk apalagi kita mencari hidayah dan beramal salih kalau sebenarnya Allah sudah memutuskan apakah kita akan masuk syurga atau neraka?

Salah satu sifat Allah adalah Maha Adil, ‘adil. Allah tidak mungkin menzhalimi kita. Kalau ada orang yang akhirnya mengalami su’ul khatimah, akhir yang buruk, walaupun selama ini dia kelihatan melakukan amalan-amalan ahli syurga, itu adalah karena berbagai sebab yang mungkin oleh mata kasat kita tidak terlihat dan bahkan mungkin orang yang bersangkutan tidak menyadari.

Kita memohon pertolongan dan perlindungan dari Allah agar terhindar dari su’ul khatimah. Untuk mejaga diri dari akhir yang buruk ini, kita perlu melihat apa sebab-sebab su’ul khatimah seperti yang diajarkan oleh ulama-ulama terdahulu.


1. Lemah Iman


Kita perlu membedakan antara iman dan amal. Seseorang bisa saja nampak rajin melakukan shalat, berpuasa, bersedekah atau bahkan sering melakukan haji, tapi itu tidak berarti bisa menjadi refleksi tingkat keimanan orang tersebut. Keimanan adalah keyakinan yang ada dalam hati terhadap Allah, Malaikat-malaikat, Kitabullah, Nabi-nabi, akhirat dan takdir Allah. Iman yang kuat akan menjadi mesin dan energi untuk melakukan amal kebaikan, tetapi orang bisa saja tetap melakukan amal kebaikan walaupun sebenarnya imannya lemah.

Salah satu penyebab lemah iman adalah kecintaan terhadap dunia yang berlebihan. Banyak orang terperosok ke dalam lembah nafsu syahwat dan perbuatan maksiat, sehingga noda hitam dosa menumpuk di dalam hati dan akhirnya memadamkan cahaya iman di hati. Dan ketika sakratul maut tiba , setan akan mendatanginya dan berupaya sekuat tenaga untuk menjerumuskannya ke siksa neraka dengan menghindarkannya mengakui keesaan Allah. Ini adalah fitnah kematian dan orang yang lemah imannya akan mudah terpedaya godaan setan pada detik-detik terakhir hayatnya.

Para ulama terdahulu menceritakan bahwa saat sakaratul maut ada dua setan yang mendatangi dari sebelah kanan dan kiri membisiki: Matilah dalam keadaan yahudi, karena ia adalah sebaik-baik agama. Dan setan yang satunya berkata: Matilah dalam keadaan Nasrani, karena ia adalah sebaik-baik agama.

Berkata Abdullah putra imam Ahmad bin Hambal, "Aku menghadiri saat wafatnya. Beliau tidak sadar dan ketika terbangun dan mengatakan dengan isyarat tangannya: "Tidak, masih belum". Beliau melakukannya berkali-kali. Maka aku katakan padanya: "Wahai ayahku, apa yang nampak olehmu ? Ayah menjawab, "Setan berdiri sambil menggigit terompahku dan mengatakan, "Wahai Ahmad, engkau telah selamat dariku", maka aku mengatakan, "Tidak, masih belum sampai aku meninggal dunia".


2. Cacat Aqidah

Aqidah adalah prinsip-prinsip dasar yang wajib diyakini sebagai penjabaran lebih rinci dari rukun iman. Jika ia memiliki kerusakan dalam aqidah dan ia meyakininya sambil tidak menganggap itu salah, terkadang kekeliruan aqidahnya itu tersingkap pada saat sakratul maut. Bila ia wafat dalam keadaan ini sebelum ia menyadari dan kembali ke iman yang benar, maka ia mendapatkan su’ul khatimah dan wafat dalam keadaan tidak beriman. Setiap orang yang beraqidah secara keliru berada dalam bahaya besar dan zuhud serta kesholehannya akan sia-sia. Yang berguna adalah aqidah yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Mereka terancam oleh ayat Allah berikut:


قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا


”Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi ayat 103-104)


Seseorang bisa saja percaya kepada Allah, tapi pada saat yang sama dia juga suka memakai jimat, pelaris dagangan, percaya pada tahayul, meminta pada kuburan wali, dst. Seseorang mengaku percaya kepada Al Quran, tapi tidak setuju, menolak bahkan ikut menentang ayat-ayat Allah. Percaya kepada Nabi, tapi diam saja ketika orang menghina, memperolok Rasulullah; menolak, tidak mempercayai hadits dan sunnah Rasulullah. Termasuk juga di sini adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi benci dan alergi terhadap apa saja yang berbau Islam, suatu fenomena yang sering sangat menyedihkan akhir-akhir ini di tanah air kita dan juga di negara-negara Islam lainnya.


3.     Amalan tanpa ikhlas dan tidak ittiba’

Amalan salih tidak boleh lepas dari 2 syarat yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas adalah niat suci semata karena Allah dalam beramal. Ikhlas merupakan ruh bagi amalan.

Innamal a’maalu binniyaati – wa innamaa likullim ri in maa nawa, fa mankaanat hijratuhu ilallahi warasuulihi; fahijratuhu ilallahi warasuulihi. Wa mankanat hijratuhu lidun ya yushi buha aw imra atin yankihuhaa; fahijratuhu ila maa haajara laihi

“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan balasan sesuai dengan yang diniatkannya.” (Muttafaqun’alaihi)

Ittiba’ adalah amalan hendaknya dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ittiba’ ini laksana jiwa bagi amalan. Allah ta’ala berfirman,


قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
 
قُلْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْكَـفِرِينَ


“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah:”Patuhilah Allah dan RasulNya.” Kalau mereka menolak, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir. (al Imran 3:31)


Kedua syarat ini harus dipenuhi agar suatu amal diterima. Amalan yang tidak ikhlas akan menjadi amalan Riya, sedangkan amalan yang tidak berdasarkan petunjuk dan contoh dari Rasulullah SAW akan menjadi amalan bid’ah. Inilah yang paling banyak menipu mata kasat kita. Inilah salah satu jawaban mengapa orang yang sepertinya banyak melakukan amalan shalih, tetapi pada akhir hidupnya mengalami su’ul khatimah; bisa jadi amalannya yang banyak itu tidak ikhlas atau tidak ittiba’.


4. Tidak istiqamah

Iblis adalah contoh yang sangat nyata dari ketidak-istiqamahan. Mulai dari kesombongan, akhirnya dia yang diangkat oleh Allah untuk hidup di syurga bersama para Malaikat dan menjadi guru para malaikat karena paling gigih beribadah, tatkala ia diperintah untuk sujud kepada Adam, ia membangkang dan menyombongkan diri, sehingga ia masuk golongan kafir. Demikian pula dengan ulama Bani Israil Bal’am yang digambarkan dalam ayat berikut:


وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ

”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (Al-A’raaf 175)


Ada banyak sekali kisah kaum terdahulu yang mempunyai awal yang baik dalam kehidupan mereka harus berakhir dengan su’ul khatimah karena mereka tergoda melakukan kesalahan kecil yang akhirnya menjerumuskan mereka dalam kemaksiatan yang besar.

Barsisah adalah seorang pendeta dari kaum bani Israil yang diamanahi oleh 3 orang bersaudara untuk menjaga adik perempuan mereka selama mereka melakukan jihad fisabilillah. Barsisah pada awalnya menjaga amanah tiga bersaudara itu dengan baik, sampai setan menggodanya berbicara dari balik tembok, lalu bertatap muka, lalu bercengkrama sampai akhirnya ia menzinai dan membunuh perempuan itu beserta anak hasil perzinaannya. Ketika keiga bersaudara itu kembali dari jihad dan akhirnya membongkar kebohongan dan kejahatan Barsisah, mereka lalu membawa Barsisah ke pengadilan. Dalam perjalanan ke pengadilan setan menampakan dalam wujud manusia dan berjanji menolong asal Barsisah mau bersujud kepadanya. Barsisah akhirnya bersujud kepada setan dan itulah amalan terakhirnya sebelum dihukun mati.


5. Larut dalam dosa dan perbuatan yang tidak bermanfaat (al-laghw)

Orang yang sering bermaksiat akan didominasi oleh memori tersebut saat kematian menjelang. Sebaliknya bila seseorang seumur hidupnya banyak melakukan ketaatan, maka memori tersebutlah yang menemaninya saat sakratul maut. Orang yang banyak dosanya sehingga melebihi ketaatannya maka ini sangat berbahaya baginya. Dominasi maksiat akan terpateri di dalam hatinya dan membuatnya cenderung dan terikat pada maksiat, dan pada gilirannya menyebabkan su’ul khatimah.

Dalam surat al Mu’minun Allah menyebutkan salah satu kriteria orang beriman yang berhasil adalah:


وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُّعْرِضُونَ (Yaitu orang-orang yang menjaga diri mereka dari Al-Laghw.)


Al Laghw diartikan oleh para mufassir tidak hanya terbatas kepada dosa-dosa tetapi juga perkataan atau perbuatan yang tidak membawa kebaikan atau manfaat.

Sering kita mendengar cerita akhir hidup yang menyedihkan dikarenakan kebiasaan buruk yang mendarah daging. Orang yang suka berjudi pada akhir hayatnya menggerak-gerakan tangannya seperti ketika memegang kartu. Orang yang suka mendengarkan musik ketika dibacakan ayat Quran seperti kegerahan dan marah-marah dan minta dimainkan lagu kesayangannya. Orang yang meninggalkan shalat lidahnya menjadi kaku ketika dibimbing mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’.

Ya Allah, kami memohon kepadaMu husnul khatimah dan berlindung kepadaMu dari su’ul khatimah. Amin ya Rabb,-

Barakallahu li walakum bil aayaati wadzikril hakiim. Wataqabala minnii waminkum tilawatahu, innahu huwassamii ‘ul ‘aliim. Wakurrabigfir warham, wa anta khairurraa himiin.

Tuesday, November 27, 2012

Jaga Aqidah


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

 لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ 


Ar Rum 30: 30 Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.


Para mufassir, termasuk Ibnu Abbas ketika mengartikan ‘laa tabdiyla li khalqillah’ mereka sepakat bahwa maknanya adalah ‘tidak dapat diganti agama Allah yang fitrah itu dengan apapun’. Karena itulah agama yang lurus, yang diciptakan Allah untuk manusia sesuai dengan kodratnya, itulah alfitratal Islam.

Sungguh tak akan cukup sujud dan syukur yang mampu kita hadiratkan kepada Allah karena telah memasukan kita ke dalam agama fitrah ini tanpa susah payah ketika sebagian saudara-saudara kita mendapatkannya melalui jalan terjal berliku dan sebagian besar manusia lain belum lagi diberi petunjuk oleh Nya. Sebagaimana suatu hadiah yang berharga, sudah selayaknyalah kita menjaga nikmat Allah yang sangat istemewa ini.

Kalau pada masa lampau ancaman terhadap aqidah tauhid kita datang dalam bentuk berhala-berhala batu, pohon-pohon beringin, atau kuburan-kuburan orang shaleh. Hari ini aqidah kita direcoki dengan taghut-taghut baru yang hadir dalam bentuk paham-paham atau isme-isme yang mempunyai nama-nama yang kedengaran penuh dengan kebenaran dan didefinisi dengan kata-kata yang terbalut indah. Akan tetapi ajaran-ajaran ini jauh dari syariat yang sudah ditetapkan Allah untuk manusia berdasarkan fitrahnya. Diantaranya, sebut saja demokrasi, free of speech atau kekebasan berbicara, toleransi, liberalism, human rights atau hak azasi manusia, teori kebenaran relative, pluralism, emansipasi wanita dan sebagainya dsb.

Kita dan anak-anak kita direcoki dengan paham-paham ini setiap hari dengan segala cara termasuk melalui media televisi, suratkabar dan internet. Ini yang disebut ghazwul fikr. Sehingga pikiran kita mulai mengatakan bahwa ini adalah suatu yang bagus untuk diambil dan diterapkan dalam kehidupan kita tanpa sadar bahwa ini bertentangan dengan fitrah kita dan meracuni aqidah kita. Perlahan kita digiring untuk menerima bahwa ini lebih baik dari nilai-nilai Islam, akibatnya kita lihat orang yang masih mengaku muslim tetapi tidak saja meninggalkan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri, malah ikut memerangi ajaran agama fitrah yang hanif ini.

Lihat paham Pluralisme yang begitu kuat dikampanyekan oleh penganjurnya di Indonesia. Melalui paham ini saudara-saudara kita digiring untuk menerima bahwa semua agama itu benar hanya caranya saja yang berbeda. Walaupun ini kedengarannya tidak berbahaya, tetapi begitu kita menerima pemikiran ini, pada saat itu pokok-pokok dasar atau aqidah menjadi rusak (innaddiina ‘indallahil islaam).

Dan kalau kita lihat tokoh-tokoh utama penganjur Pluralisme ini, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mengaku muslim. Tetapi mereka patut mempertanyakan diri mereka sendiri, bagaimana mungkin mereka mengaku beragama Islam sementara mereka tidak hanya menerima tapi ikut menyerang ‘the very core value’ ajaran Islam itu sendiri.

Alasan jamak mereka adalah toleransi. Tapi apakah toleransi harus mengorbankan Aqidah? Bukankah dengan tanpa mengorbankan aqidah pun sejarah membuktikan umat Muslim bisa menghormati dan toleran terhadap penganut ajaran agama lain?

Ketahuilah saudara-saudaraku, tujuan akhir mereka itu bukan toleransi, tapi menjauhkan kita dari ajaran agama kita sendiri. Inilah yang diperingatkan Allah kepada kita:


يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقاً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَـبَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَـنِكُمْ كَـفِرِينَ 


Al Imran 3:100. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.

Demikianlah Allah memperingatkan hambaNya yang beriman agar tidak mengikuti kaum Ahlul Kitab: Yahudi dan Nasrani. Memang kalau kita amati secara seksama akan terbukti peringatan Allah. Semua isme-isme baru yang menyerang dan menggerogoki aqidah Islam umat ini berasal dari pemikiran-pemikiran Yahudi dan Nasrani. Pemikiran-pemikiran ini disebarkan melalui media massa, pusat-pusat studi dan mensponsori anak-anak kita untuk mempelajari pemikiran itu di universitas-universitas terkenal didunia sehingga ketika mereka pulang dengan gelar master atau doctor, mereka sudah diracuni pemikiran ini dan menjadi agen penyebar pemikiran ini kepada khalayak yang naïf.

Mengapa begitu banyak waktu, usaha dan tenaga yang mereka curahkan untuk menyebar pemikiran ini? Apakah semata untuk mempromosikan toleransi sebagaimana yang mereka senantiasa suarakan? Naif sekali kalau kita juga beranggapan demikian.

Allah SWT berfirman:



وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَـبِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِن بَعْدِ إِيمَـنِكُمْ كُفَّارًا

 حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ


Al Baqarah 2:109 Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.


Allah sudah memilih kita dan anak-anak kita terlahir dan menerima agama yang sesuai dengan fitrah ini. Sungguh nikmat Iman dan Islam yang Allah hadiahkan kepada adalah nikmat yang patut kita syukuri dan pertahankan.

Musuh-musuh kita karena kedengkian mereka, sangat ini sekali melihat kita dan anak-anak kita menjauh dan akhirnya kehilangan hadiah Allah yang sangat berharga ini. 

مَّا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَـبِ وَلاَ الْمُشْرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيْكُم


 مِّنْ خَيْرٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَن يَشَآءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ 


Al Baqarah 2: 105. Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. 


Sadarlah wahai saudaraku. Hidayah Islam dari Allah yang kebanyakan kita dapatkan secara mudah karena kita terlahir dalam keluarga dan besar dalam lingkungan Muslim adalah karunia dan hadiah yang sangat berharga sekali. Jagalah karunia itu; jangan sampai rusak, jangan sampai hilang.


Aquluu qauli

Thursday, November 22, 2012

Hijrah dan Relevansinya dengan Hari Ini

Allah Ta'ala berfirman


 الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَـهَدُواْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ


 أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللَّهِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَنٍ وَجَنَّـتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمٌ مُّقِيمٌ

خَـلِدِينَ فِيهَآ أَبَداً إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ 


At Tawbah 9: 20 Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. 21. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padaNya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal, 22. mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.


Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah adalah salah satu tonggak sejarah paling penting dalam sejarah Islam dan sejarah umat manusia.

Secara lahiriah Hijrah yang terjadi 1432 yang lalu adalah perjalanan yang berjarak 340 km antara Makkah dan Madinah. Tapi keutamaan peristiwa ini bukan karena jaraknya, tetapi karena begitu banyak pelajaran dan keutamaannya. Hijrah tidak hanya menandai awal suatu era di mana Islam maju dan berjaya, tapi Islam maju dan berjaya karena umat Muslim terdahulu mengambil pelajaran dan keutamaan-keutamaan dari peristiwa besar ini.

Rasulullah SAW dan kaum Muslim di Makkah diuji oleh Allah melalui kafir Quraysh yang dengan segala cara berusaha menghentikan penyebaran agama Islam. Penyiksaan, penghinaan, boikot dan bahkan pembunuhan yang dilakukan musuh-musuh Allah itu tidak menghentikan Rasulullah dan para sahabat ra. dalam berdakwah. Di puncak keputus-asaan mereka, pemuka Quraysh mengadakan pertemuan di An Najwa yang bertujuan untuk menghentikan dakwah Rasulullah SAW.

Ada yang mengusulkan mempenjara Rasulullah, ada yang ingin mengasingkan Rasulullah dan ada yang ingin membunuh Rasullullah. Tapi semua sepakat cara-cara itu tidak akan efektif , sampai Abu Jahal laknatullah mengusulkan agar setiap kaum mengirim satu pemuda terbaiknya untuk bersama-sama membunuh Rasulullah sehingga keluarga Rasulullah tidak bisa menuntut balas.

Tapi Allah berkehendak lain:


وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ


 وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَـكِرِينَ 


Al Anfal 8: 30.
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) merencanakan tipu upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka merencanakan tipu daya dan Allah mempunyai rencana. Dan Allah sebaik-baik perencana.

Rasulullah berhasil mengecoh para pemimpin Quraysh dan pemuda-pemuda yang mengepung rumah Beliau.. Rasulullah meninggalkan Makkah ditemani oleh sahabat beliau Abu Bakr ra. yang diriwayatkan menguraikan airmata saking bahagianya ketika diberitahu bahwa Allah dan RasulNya memilihnya untuk menemani Rasulullah dalam perjalanan yang menantang maut ini.

Kafir Quraysh yang menyadari bahwa Rasulullah dan Abu Bakr sudah lolos segera mengirim pemburu-pemburu untuk menangkap dan membunuh Rasulullah dan Abu Bakr. Diriwayatkan salah satu dari kelompok pemburu itu sampai di gua Tsur tempat Rasulullah dan Abu Bakr bersembunyi. Mereka sudah sedemikan dekatnya, sampai-sampai Abu Bakr yang begitu mengkuatirkan keselamatan Rasulullah berbisik, “Bagaimana kalau mereka melihat kita?” Rasulullah menjawab,


يَا أَبَا بَكْرٍ، مَا ظَنُكَ بِاثْنَينِ اللهُ ثَالِثُهُمَا


"Wahai Abu Bakar. Bagaimana menurutmu tentang dua orang dan Allah menjadi yang ketiga dari mereka”


Diriwayatkan bahwa Allah mengirim laba-laba untuk membuat sarang didepan gua itu sehingga para pemburu itu mengira tidak ada orang bersembunyi di gua itu.


Pelajaran dan keutamaan Hijrah

1. Ihsan dan Tawakkal

Nabi Muhammad SAW membuat persiapan yang matang sekali untuk perjalanan ini. Beberapa hari sebelum berangkat, Rasulullah menemui Abu Bakr secara sembunyi-sembunyi pada siang yang terik sekali ketika kebanyakan penduduk Mekah istirahat siang dalam rumah mereka. Nabi memberitahu Abu Bakr tentang perintah Hijrah dan membuat rencana perjalanan.

Rasulullah menyewa Abdullah bin Ariiqat, seorang non-Muslim sebagai penunjuk jalan; Abdullah bin Abu Bakr memata-matai gerakan kaum Quraysh; dan Asma binti Abu Bakr membawa makanan ke gua Tsur. Demikian juga ketika meninggalkan Mekah, Rasulullah dan Abu Bakr mengambil jalan memutar untuk mengelabui kaum kafir Quraysh.

Walaupun Allah sudah memberi jaminan keselamatan dan kemenangan, Rasulullah tetap berusaha sebaik mungkin dalam perencanaan dan pelaksanaan Hijrah, inilah Ihsan. Setelah usaha maksimal, Rasulullah menyerahkan semua urusan kepada Allah.

Seorang pemburu ulung Quraysh, Suraqah bin Malik, sangat tergiur dengan hadiah 100 ekor unta yang dijanjikan bagi siapa saja yang berhasil menangkap Rasulullah dan Abu Bakr hidup atau mati dan berhasil mencium jejak Rasulullah dan Abu Bakr. Dengan tombak siap ditangannya, dia siap membunuh Rasulullah dan Abu Bakr. Tapi entah kenapa kudanya tersungkur dan dia jatuh dari kuda, hal yang tidak pernah dialaminya sebelum itu. Kejadian ini berulang sampai empat kali sampai Suraqah mengambil kesimpulan bahwa Allah melindungi Muhammad SAW dan Abu Bakr ra. dan dia akhirnya malah minta perlindungan dari Rasulullah.


2. Pengorbanan Abu Bakr, Ali, kaum Muhajirun dan kaum Anshar

Hijrah ini bukan hanya ujian pengorbanan bagi Rasulullah yang harus meninggalkan tanah Makah dan sanak family Beliau, tapi juga ujian pengorbanan bagi para sahabat ra. Bagi Abu Bakr; menemani Rasulullah dalam perjalan ini berarti menerima tantangan maut tidak hanya untuk diri Beliau tapi juga untuk anak-anaknya. Bagi ‘Ali; tidur di tempat tidur Rasulullah adalah mengambil resiko tidak hanya kemarahan pemuka Quraysh yang murka karena terkecoh, bisa-bisa Beliau dibunuh sebagai pelampiasan kemarahan mereka.

Abu Bakr, ‘Ali dan para Sahabat yang berhijrah harus meninggalkan harta benda, keluarga dan tanah kelahiran mereka. Begitu pula kaum Anshar di Madinah, mereka rela mengorbankan harta, keluarga dan kesenangan hidup mereka untuk menolong dan berbagi dengan kaum Muhajirin.


3. Hijrah menjadi wajib ketika tidak mungkin lagi beribadah dan berdakwah, tapi tetap harus berusaha

Kita melihat perintah Hijrah keluar ketika Rasulullah dan para sahabat di Mekah menghadapi keadaan yang tidak memungkin mereka untuk beribadah dan berdakwah karena tekanan kaum Quraysh dan kaum Muslimin karena jumlahnya yang sangat sedikit tidak kuasa melawan tekanan itu.

Ini menjadi dalil dari hukum Hijrah bagi kaum Muslimin yang hidup sebagai minoritas. Tapi pilihan ini hanya setelah ada usaha melawan tekanan dan permusuhan yang tidak memungkinkan kita beribadah dan berdakwah.


4. Hijrah berarti transformasi kearah yang lebih baik

Ø Transformasi dari posisi lemah tertindas ke posisi dimana umat Islam di perbolehkan mempertahankan diri dengan berjihad.

Ø Transformasi dari dakwahyang dilakukan secara perorangan ke dakwah yang dilakukan melalui lembaga institusi Negara atau khilafah.

Ø Transformasi Islam sebagai ibadah ritual menjadi agama yang komprehensif, way of life, yang mengatur tidak hanya masalah ibadah mahdah, tapi juga kehidupan ekonomi, politik, sosial, dll;

Ø Transformasi dari sekelompok Muslim menjadi umat Muslim yang terorganisasi dalam satu tatanan Negara dengan kepemimpinan Rasulullah sebagai kepala pemerintahan.

Ini menjadi sangat relevan dengan keadaan umat Islam dewasa ini seperti di Palestina, Suriah, Afghanistan, Somalia, Sudan dan seterusnya. Kita merasakan penderitaan saudara-saudara kita disana dan berusaha membantu sebisa kita, tapi suara dan bantuan kita tidak efektif dan cenderung dianggap angin lalu oleh musuh-musuh Islam. Islam saat ini bukan merupakan suatu kekuatan, karena kita terpecah.

Umat yang satu, yang bergabung dalam satu kekuatan politik, ekonomi dan spiritual seperti yang dicontoh oleh Rasulullah melalui Hijrah, harus menjadi cita-cita yang setiap kita jadikan arah dalam pemikiran dan usaha. Tidak hanya sekedar wacana dan omong kosong, tapi usaha nyata dari setiap kita. Setiap individu Muslim harus memikirkan dan melakukan sesuatu untuk mengembalikan khilafiyah, karena hanya dengan itu umat Islam bisa memperoleh kedamaian dan ber-Islam secara kaffah.

5. Menolong Agama Allah

Allah mengingatkan kita akan peristiwa Hijrah untuk mengkritik mereka yang menolak menolong agama Allah.


إِلاَّ تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُواْ … 

At Tawbah 9: 40.
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah)

Kalau kita membantu sebenarnya adalah untuk kebaikan diri kita sendiri, sebagaimana firman Allah:



مَّنْ عَمِلَ صَـلِحاً فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَآءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّـمٍ لِّلْعَبِيدِ 


Fussilat 41: 46.
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya

Kalau kita tidak melakukan apa-apa, yang akan rugi adalah diri kita sendiri; kita kehilangan kesempatan untuk beramal membantu agama Allah.

Tanpa bantuan kitapun apa yang sudah ditakdirkan Allah akan terjadi. Salah satu janji Allah adalah bahwa Allah akan mengembalikan kejayaan kepada kita umat nabi Muhammad SAW:

 وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنْكُمْ وَعَمِلُواْ الصَّـلِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ

 فِى الاٌّرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ  

An Nuur 24: 55. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal-amal yang saleh di antara kamu bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa...)

Kita percaya bahwa janji Allah adalah haq. Yang menjadi masalah adalah apakah kia memiliki sumbangan kontribusi terhadap apa yang sudah dijanjikan Allah tersebut.

Barakallahu li walakum bil aayaati wadzikril hakiim. Wataqabala minnii waminkum tilawatahu, innahu huwassamii ‘ul ‘aliim. Wakurrabigfir warham, wa anta khairurraa himiin.

Wednesday, August 29, 2012

Ihsan: Striving to Excel

Qaalallahu ta ‘aala fil Qur anil kareem:
 
 
تَبَارَكَ الَّذِى بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلّ شَىْء قَدِيرٌ
 
الَّذِى خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَوةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
 
 
Al Mulk 67:1. Blessed be He in Whose Hand is the dominion; and He is Able to do all things.) (2. Who has created death and life that He may test you which of you is best in deed. And He is the Almighty, the Oft-Forgiving.
 
 
Ihsan is one of the most important concepts in our religion. In a famous hadits, known as the hadits of Jibreel, in which the Archangel appeared in a form of a man in front of Rasulullah shalallahu 'alayhi wassalam (saw) and his sahabahs radhiallahu 'anhum (ra) to teach about our religion; Jibreel 'alayhis salaam (as) asked prophet Muhammad (saw) about three concepts: Islam, Eeman dan Ihsan. When he (saw) was asked about Ihsan, the Prophet (saw) replied as narrated by 'Umar ibn Khattab (ra):
 
 
Qaala: anta” budallaha ka annaka taraahu, fa illam takun taraahu, fa innahu yaraaka
 
Ihsan: “it’s to worship Allah as you are seeing Him and while you see Him not yet truly He sees you.” 
  
I have heard and memorised this hadits for a long time. But the meaning of this did not sink in until I came across an explanation by a famous scholar. He explained this concept of Ihsan by giving an example where you are working for someone. While you are doing your job you see your boss is watching you or if you know that he is watching you (through camera for example where you can not see him), any person who wants to keeps his job or wants to win promotion would do his best. He would do his job in a best possible manner to ensure he would get the possible results.
 
If we apply this example in performing Allah's commands, think about our position as His slaves and Allah is our Master. If we are trying hard to impress our boss while he is watching, we must try harder in performing our duties to Allah, our Master, because He is Ever-Watching us!
 
This is the Prophet’s definition of the term “Ihsan”, and it signifies that a person, who is characterized with Ihsan, does everything perfectly as he sees his MASTER watching him. 
 
The concept of Ihsan means that a Muslim is a responsible person and a person of quality where he does things in a very good manner, in a complete sense, in a nice and tasteful way and is never satisfied with anything other than a quality job in all that he/she does, motivated by realizing that Allah prescribed Ihsan to everything and to all deeds. 
 
“Allah, Most High, says:
 
 
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
 
 فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
 
“Nay, whoever submits his whole self to Allah and is a doer of (Ihsan) good he will get his reward with his Lord; on such shall be no fear, nor shall they grieve.” (Al-Baqarah: 112).
 
 
And,
 
 
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإْحْسَانِ وَإِيتَآءِ ذِى الْقُرْبَى
 
 وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْى يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 
 
 
“Allah commands justice, (Ihsan) the doing of good, and liberality to kith and kin, and He forbids all shameful deeds, and injustice and rebellion: He instructs you, that you may receive admonition.” (An-Nahl: 90).
 
 
If we look back and study the life of our beloved Prophet (saw), we can see how the Prophet perform ihsan in all things he did. In term of the content of the message: PERFECTION (it is described that nothing that can bring us close to the jannah, but the Prophet told us; and nothing that bring us close to the hell that He (saw) warned us against.) In term of the delivery of that message: second to none! BEST.
 
Take a look at any episode of the Prophet's life, you will find prophet Muhammad strove to do his best in whatever he did. Take a look at the Hijrah, migration from Makkah to Madinah. Despite the fact that Allah guaranteed his safety and promised him victory, prophet Muhammad (saw) did the following:
  • He planned his trip: and the manner he planned this was so secretly to the extent that he visited Abu Bakr (ra) in disguise at noon when people were taking shelter in their house from the heat of desert sun.
  • He arranged a guide for the trip, told Abdullah the son of Abu Bakr to spy on the movement of the Quraysh and Salma the daughter of Abu Bakr to bring food to their hiding. 
  • Prophet Muhammad and Abu Bakr exited Makkah from the South despite Madinah was located to the north of Madinah. 
  • Prophet Muhammad ordered Ali bin Abu Thalib to sleep on his bed to trick the Makkans.
  • Prophet Muhammad could have just jumped on to his camel back and rode to Madinah because Allah already guaranteed his safety. But that was not the way the Prophet approached problems. He made a very thorough and calculated plan and preparation and carried out the plan in the best possible ways.
 
The Prophet (saw) said,
 
Innallaha katabal ihsaana ‘ala kulli shay in: fa idzaa qataltum, fa ahsinul qitlahu. Wa idzaa dzabahtum fa ahsinudz dzibhah. Wal yuhidda ahadukum shafratah, wal yurih dzabiyhatahu. (rawahu Muslim)
 
“Allah has prescribed that you do everything in an excellent and nice manner. Thus, if you kill, kill well; if you slaughter, slaughter well. Let each one of you sharpen his blade and let him spare suffering to the animal he slaughters” (Muslim, Hadith No.3615).
 
 
Allah commands to do our best in worshipping HIM or in doing íbadah. This is not only limited to the core íbadah like shalat, fasting or hajj, but also the supplemantary ibadah like in the way we are dealing with our family, our neighbours, our community, our environment, at workplace and so on.
 
Most of the time, our attitude when doing religious work for our community is very different to the examples given by our role model, prophet Muhammad (saw). Compared to the approach taken by the Prophet when migrated to Madinah above, our approach in doing Islamic work for this ummah is very casual, lack of plan and lack of vision; and when it is done it done half-heartedly.
 
We assume that since what we are doing is an Islamic work that is blessed by Allah, it will take care by itself or Allah will take care of it. This is in contrary to the examples given the Prophet (saw) in carrying out Islamic work. He (saw) applied ihsan, he strove to pursue excellence by giving his best in every work he did for Allah and His religion.
 
We have to change our approach in doing our duties to Allah. Our correct understanding of Ihsan must drive us to pursue perfection. The problem we face as a nation is huge. Every muslim are required to give their best, to perform ihsan, if we want to solve our problem.
 
Finally, Just do ihsan, because Allah loves those who perform ihsan: “But do ihsan; for Allah loves those who do ihsan.” (Al-Baqarah: 195)”.

Sunday, December 7, 2008

First 10 Days of Zulhijjah

وَالْفَجْرِ- وَلَيالٍ عَشْرٍ- وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ- وَالَّيْلِ إِذَا يَسْرِ- هَلْ فِى ذَلِكَ قَسَمٌ لّذِى حِجْرٍ

Al Fajr 89: 1. By the dawn; 2. And by the ten nights, 3. And by the even and the odd. 4. And by the night when it departs. 5. Is there (not) in them sufficient proofs for men of understanding!

When Allah swears an oath by something, it is indicative of its importance and great benefit. Almighty Allah says: (by the ten nights.) (Al-Fajr 89: 2) Ibn `Abbas, Ibn Az-Zubayr, Mujahid and others of the earlier and later generations are of the opinion that this refers to the first ten days of Dhul-Hijjah. Ibn Kathir said: "This is the correct opinion." (TafsirIbn Kathir, 8/413)

The first ten days in the month of Zulhijjah is amongst the proofs of Allah’s Raheem towards Muslims. Ibn `Abbas (may Allah be pleased with him and his father) reported that the Prophet (peace and blessings be upon him) said: "There are no days in which righteous deeds are more beloved to Allah than these ten days." The people asked, "Not even Jihad for the sake of Allah?" He said, "Not even Jihad for the sake of Allah, except in the case of a man who went out to fight, giving himself and his wealth up for the cause, and came back with nothing." (Reported by Al-Bukhari)

We should be grateful to Allah who has institutionalized this special time. We should use this opportunity to correct our faults and to make up for any shortcomings or anything that we might have missed in the past. But what we can do so that this valuable does not pass by in vain? What deeds can be carried out as exemplified by our beloved Prophet (peace and blessings be upon him) during this period? Below are some sunnahs to help us to make most of the first ten days in the month of Zulhijjah

1. Reciting a lot of tahlil, takbir and tahmid
`Abdullah ibn `Umar (may Allah be pleased with him and his father) reported that the Prophet (peace and blessings be upon him) said: "There are no days greater in the sight of Allah and in which righteous deeds are more beloved to Him than these ten days, so during this time recite a great deal of tahlil (saying: 'there is no god but Allah'), takbir and tahmid." (Reported by Ahmad)

This hadits encourages us to increase the recitation of ‘Allahu akbar’ (Allah is great), ‘laa ilaha illallah’ (there’s no god but Allah) and ‘alhamdulillah’ (all praises belong to Allah) within the ten days. It also corrects our misconception which tend to recite takbir only on the night of 10th Zulhijjah.

2. Fasting
These ten days include the Day of `Arafah, on which Allah perfected His religion. For those who are not performing Hajj, fasting on this day is highly recommended. Fasting on the day of Arafah will expiate for the sins of two years.
Abu Qatadah (may Allah be pleased with him) is reported to have said that the Prophet (peace and blessings be upon him) said: "Fasting on the day of `Arafah is an expiation for two years, the year preceding it and the year following it. Fasting the day of `Ashurah is an expiation for the year preceding it." (Reported by "the group," except for Al-Bukhari and At-Tirmidhi)One of the wives of the Prophet (peace and blessings be upon him) said: “Allah’s Messenger used to fast the [first] nine days of Dhul-Hijjah, the day of `Ashurah, and three days of each month." (Reported by Abu Dawud).

3. Hajj
These ten days include the days of Hajj. For those who can afford to go in term of financial, health and security, hajj is compulsory, at least once in a life time.

وَللَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَـعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِىٌّ عَنِ الْعَـلَمِينَ

Ali Imran 3:97 ... And hajj (pilgrimage to makkah) to the house (kabah) is a duty that mankind owes to Allah, those who can afford the expenses (for ones conveyance, provision and residence); and whoever disbelieves (i.e. denies hajj (pilgrimage to makkah), then he is a disbeliever of allah), then allah stands not in need of any of the alameen (mankind and jinns).

We have to perceive hajj as a duty that we owe to Allah. It is like a debt that we have to pay before we die. But many of us tend to delay fulfilling this obligation despite our prosperous condition. How many people who choose to delay hajj until they are not too busy with the worldly matters but die before they have the chance to do it? We do not know when we will die. Twenty years? One year? Next month? Next week? Tomorrow? Wallahu ‘alam, Allah knows best.

Allah's Messenger (p.b.u.h.) said, "He who is not prevented from performing the pilgrimage by an obvious necessity, a tyrannical ruler, or a disease which confines him at home, and dies without having performed the pilgrimage, may die if he wishes as a Jew, or if he wishes as a Christian." (Tirmidhi: 2535, narrated Abu Umamah) (Darimi transmitted it)

I leave it to you in interpreting the hadits above. But the message is very clear, perform hajj as soon as we can afford it.

4. Udhiyah/Sacrifice
Offering Udhiyah (sacrifice) during `Eid Al-Adha is regarded as wajib or mandatory according to Imam Abu Hanifah and as sunnah mu'akkadah or confirmed Sunnah according to other jurists.Allah says further: (It is not their meat nor their blood, that reaches Allah: it is your piety that reaches Him: He has thus made them subject to you, that ye may glorify Allah for His guidance to you: And proclaim the Good News to all who do right} (Al-Hajj 22:37).
The importance of sacrifice for those who can afford it can be illustrated by the Prophet annoyance to those who were reluctant to offer sacrifice. He (peace be upon him) once told those who are affluent but refused offering qurban not to come near his masjid.

5. Abstain from cutting nails and shaving hair
Umm Salamah (may Allah be pleased with her), according to which the Prophet (peace and blessings be upon him) said: “When you see the new moon of Dhul Hijjah, or according to another version, When the ten days (of Dhul Hijjah) begin and any of you wants to offer a sacrifice, let him refrain (from cutting) his hair and nails” (Ahmad and Muslim).

This is a sunnah that is often overlooked. Some ‘ulamas have suggested that if we cut our nail or hair from any parts of our body during the first ten days of Zulhijjah while we intend to offer sacrifice, our sacrifice will not be accepted. Others, however, believe that the sunnah of abstaining cutting nails and hair is not related to the sacrifice.

Aqulu qaoli hazta wastaghfirullahi 'aziim.#

Tuesday, July 8, 2008

AIRMATA RASULULLAH SAW...

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam", kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi! bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?", tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. "Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar khabar ini?", tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul ! Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: "Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, ! Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku" "peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii,ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku" Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. NB: Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mengingat maut dan mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita